Ambon, – Isu ketimpangan pembangunan dan keamanan laut kembali menggema dari wilayah selatan Provinsi Maluku. Dalam forum strategis Rapat Koordinasi Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (FORKOPIMDA) Provinsi Maluku Tahun 2025, Wakil Bupati Kepulauan Tanimbar, Juliana Ch. Ratuanak, tampil vokal menyuarakan berbagai persoalan mendasar yang selama ini membelit daerah perbatasan tersebut.
Forum yang digelar pada Selasa (24/6/2025) di Hotel Santika Premiere Ambon itu mengangkat tema “Bersinergi Menjaga Stabilitas IPOLEKSOSBUDHANKAM, Par Maluku Pung Bae” dan dihadiri oleh jajaran Forkopimda dari seluruh kabupaten/kota di Maluku.
Dalam paparannya, Ratuanak menyoroti maraknya aktivitas ilegal di perairan Laut Aru, yang menurutnya telah berlangsung secara sistematis dan dibiarkan begitu saja tanpa pengawasan negara.
“Kapal-kapal tanpa izin bebas beroperasi. Ribuan ton ikan jenis tenggiri ditransaksikan langsung di tengah laut. Kami di Tanimbar tak mendapat manfaat apa pun. Ini masalah keamanan sekaligus ketimpangan ekonomi,” kata Wakil Bupati, Juliana Ratuanak.
Ia menekankan bahwa masyarakat Tanimbar yang hidup di tengah kekayaan laut justru menjadi penonton di wilayah sendiri. Padahal, kontribusi hasil laut dari kawasan itu sangat signifikan terhadap perekonomian Maluku bahkan nasional.“Tanimbar punya potensi besar, tapi rakyatnya tidak pernah benar-benar menikmati kekayaan itu. Kita berbicara soal ketidakadilan distribusi sumber daya,” lanjutnya.
Ratuanak juga mempertanyakan implementasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, khususnya dalam hal bagi hasil sektor perikanan.
“Undang-undang itu menjanjikan bagi hasil 80 persen untuk daerah. Tapi hingga kini, masyarakat kami belum merasakan dampaknya. Apakah karena kami jauh dari pusat? Atau karena suara kami tidak cukup keras didengar?” tanyanya retoris.
Selain sektor kelautan, ia menyinggung minimnya akses terhadap layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan, lemahnya pengawasan wilayah laut, serta ketimpangan akses ekonomi yang menyebabkan keterisolasian semakin dalam.
Sebagai wilayah administratif dari Proyek Strategis Nasional (PSN) Blok Masela, Kepulauan Tanimbar menurutnya seharusnya mendapat afirmasi lebih dalam pembangunan. Namun realitas di lapangan menunjukkan potensi konflik sosial dan batas wilayah desa yang belum terselesaikan.
“Kami butuh perhatian serius. Bukan hanya dari sisi investasi, tapi juga stabilitas sosial dan kepastian hukum di wilayah kami,” ungkap Ratuanak.
Ia juga mengingatkan bahwa pendekatan pembangunan nasional semestinya tak melulu berorientasi pada kawasan pusat, namun memberi ruang afirmatif bagi daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) seperti Tanimbar. Ratuanak mengutip Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 sebagai dasar penting dalam mengoreksi kebijakan pembangunan dari pinggiran.
“Jangan hanya ukur pembangunan dari pusat. Lihatlah ke perbatasan. Kami bagian dari Indonesia. Kita bicara soal sila kelima Pancasila: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” pungkasnya.
Pernyataan keras Wakil Bupati Tanimbar itu menjadi salah satu suara paling tajam dalam Rakor Forkopimda Maluku 2025. Forum yang seharusnya menjadi ruang evaluasi dan sinergi justru dibuka dengan tamparan kritik yang merefleksikan realita senyap di kawasan perbatasan.
Reaksi peserta forum tampak beragam. Sejumlah kepala daerah memberikan anggukan, sementara pejabat pusat yang hadir mencatat pernyataan tersebut dengan seksama, meski belum memberikan respons terbuka dalam forum.
Pernyataan Ratuanak menjadi alarm bagi para pemangku kepentingan, bahwa pembangunan nasional tidak cukup hanya dengan menara-menara infrastruktur dan indikator makro. Keberpihakan kepada rakyat di batas terluar adalah cermin keadilan sejati dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. (BM31)