Ambon, – Aktivitas ilegal di wilayah perairan Maluku kembali menjadi sorotan tajam. Sebanyak 95 persen kapal yang beroperasi di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 718 tercatat tidak memiliki dokumen resmi. Fakta ini terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku yang digelar baru-baru ini.
Wilayah WPP 718 yang mencakup Laut Aru, Laut Arafura, dan Laut Timor dikenal sebagai kawasan dengan potensi sumber daya perikanan terbesar di Indonesia. Namun, tingginya potensi ini justru membuka celah bagi praktik eksploitasi liar yang tidak terkendali.
“Kita membayangkan tidak, lima persen kapal saja yang memiliki izin, dan 95 persen itu tidak punya izin. Ini namanya penjarahan,” kata Andreas J. W. Taborat, Ketua Fraksi PDIP DPRD Provinsi Maluku, saat ditemui sebelum Rapat Paripurna DPRD dalam rangka penyampaian LHP BPK terhadap LKPJ Pemprov Maluku Tahun 2024 pada Rabu (28/5/2025) di Gedung DPRD Provinsi Maluku.
Penegasan tersebut tidak lepas dari keluhan masyarakat dan dampak nyata kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Nomor B.2403/MEN-KP/XII/2024 tentang Transisi Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur. Kebijakan ini, menurut Taborat, belum menyentuh aspek pengawasan yang konkret di lapangan.
“Kebijakan itu belum menjawab keresahan masyarakat di Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku Tenggara, dan Kepulauan Tanimbar yang menjadi lumbung telur ikan terbang,” tambah Taborat. Telur ikan terbang, komoditas laut bernilai tinggi dan bergizi, kini menjadi sasaran utama ratusan kapal yang beroperasi secara ilegal. Ironisnya, laporan resmi hanya menyebutkan 14 kapal beroperasi di Dobo, ibu kota Kabupaten Kepulauan Aru.
“Tapi yang terjadi bukan 14 kapal saja. Ada sekian ratus kapal, mereka beroperasi di Perairan Seram, Kepulauan Kei, dan KKT. Yang miliki izin hanya lima persen. Selebihnya dijual ke pasar gelap,” ujar Taborat.
Situasi ini diperparah oleh lemahnya pengawasan. Berdasarkan Surat Edaran Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Nomor 500.5.6/1075/2025 tertanggal 28 Mei 2025, telah ditegaskan larangan penangkapan telur ikan terbang bagi kapal-kapal tanpa dokumen. Surat itu ditujukan kepada Bupati KKT dengan imbauan agar aparat memperketat patroli laut.
Namun, Taborat menilai kebijakan administratif saja tidak cukup. Ia meminta intervensi langsung dari Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa, untuk mengambil langkah tegas.
“Menu kita yang bergizi ini menjadi santapan lezat pihak lain, sementara banyak anak-anak Maluku masih kekurangan gizi. Ini tidak adil dan sangat memilukan hati kita,” tegas Taborat.
Ia menambahkan bahwa penjarahan ini bukan hanya soal pencurian, tetapi bentuk penjajahan baru terhadap kekayaan laut Maluku. Ia mengajak seluruh elemen pemerintahan daerah untuk menghidupkan kembali semangat perjuangan Pattimura dalam melawan eksploitasi hasil bumi dan laut.
“Kita tidak berharap supaya bilang Pattimura turun dari tiang gantungan. Kita berharap Hendrik Lewerissa sebagai Gubernur Maluku memakai kewenangannya berperang melawan penjajah yang mengobok-obok hasil laut Maluku,” katanya.
Menurut Taborat, Fraksi PDIP DPRD Maluku siap mendukung penuh langkah Gubernur dalam membersihkan WPP 718 dari kapal-kapal ilegal. Ia mendorong agar pengawasan laut diperkuat dengan melibatkan TNI dan POLRI.
“Yang legal saja kita tahu nilainya, tapi ilegal? Tidak bisa dihitung. Mereka jual di pasar gelap, bagaimana kita bisa ukur kerugiannya? Maka kapal-kapal ilegal itu harus dihentikan segera,” tegasnya.
Taborat juga menekankan pentingnya ketegasan regulasi dan kehendak politik dari pimpinan daerah. Ia menyebut perlunya “policy gubernur” yang bersinergi dengan aparat keamanan untuk mengamankan sumber daya perikanan Maluku.
“Dinas perikanan tidak cukup. Kita masih dalam suasana semangat Pattimura di bulan Mei ini. Kita minta semangat itu hidup dalam diri seorang gubernur Hendrik Lewerissa,” pungkasnya. (BM31)