Ambon, – Science and Technology Research Partnership for Sustainable Development (SATREPS) bersama Universitas Pattimura menggelar kegiatan Workshop on Tsunami Mitigation and Coastal Community Resilience in Ambon City pada Kamis (12/9/24) bertempat di Aula Rektorat Universitas Pattimura.
Tema yang diusung pada kegiatan ini yaitu “Building Sustainable System for Resilience and Innovation in Coastal Community (BRICC) and PUU USK 2024”.
Salah satu skema pendanaan riset yang didanai dari Japan International Collaboration Agency (JICA) adalah program Science and Technology Research Partnership for Sustainable Development (SATREPS). Program SATREPS merupakan skema kerjasama antara Pemerintah Jepang dan Indonesia dalam bidang Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Inovasi yang bertujuan untuk memecahkan permasalahan Global.
Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Pattimura Dominggus Malle dalam sambutannya mengatakan kegiatan hari ini dapat memberikan informasi dan ilmu pengetahuan kepada masyarakat tentang Tsunami.
Universitas Pattimura tentunya berterimakasih kepada pemerintah Jepang karena telah menggelar kegiatan workshop. Kegiatan ini juga memberikan pemahaman dan juga menyediakan pengetahuan terkait dengan metigasi serta upaya tanggap masyarakat pesisir dalam menghadapi bencana gempa dan tsunami.
“Masyarakat Maluku mungkin tidak tahu dan belum pernah mengalami bencana besar seperti tsunami. terakhir kali, bencana yang menguncang Maluku adalah gempa bumi pada tanggal 26 September 2019. Hal ini mengakibatkan banyak masyarakat yang mengungsi kedataran tinggi dikarenakan isu akan terjadinya tsunami setelah gempa. Padahal setelah 30 menit hingga 1 jam setelah gempa, tidak terjadi tsunami di Maluku. Itulah gunanya kita mengikuti kegiatan dihari ini agar kita mendapatkan informasi dan ilmu pengetahuan tentang Tsunami serta bagaimana menghindari dampak dari tsunami,” terangnya.
Malle berharap dengan terselenggaranya kegiatan ini maka peserta kedepannya dapat menjadi agen edukasi kepada masyarakat, khususnya masyarakat Kota Ambon yang adalah masyarakat pesisir.
Dikesempatakan yang sama saat membacakan sambutan Pj. Walikota Ambon, Plh. Sekretaris Kota Ambon, Robby Sapulette menyampaikan penghargaan tulus kepada Institut Penelitian Internasional Ilmu Bencana (IRIDeS) Universitas Tohoku atas penelitian mereka yang berfokus pada mitigasi dan persiapan menghadapi Tsunami di Ambon. Merupakan suatu kebanggaan dan kehormatan bagi saya untuk menyambut tim peneliti dari Jepang yang akan berkolaborasi dengan peneliti Universitas Pattimura pada proyek Membangun Sistem Berkelanjutan untuk Ketahanan dan Inovasi dalam Komunitas Pesisir (BRICC). Terima kasih telah memilih Ambon sebagai salah satu dari empat lokasi proyek anda. Seperti yang kita ketahui, tsunami merupakan salah satu bencana yang terjadi di Ambon.
Beliau menjelaskan, berdasarkan data sejarah tsunami tahun 1600-1900, sekitar 40% kejadian tsunami di Indonesia berasal dari Maluku. Beberapa peristiwa tsunami di Ambon terjadi tahun 1629, 1674, 1841, 1852 dan 1950. Masyarakat Ambon umumnya mengenal istilah tsunami dengan istilah Air Turun Naik. Selain itu sebagian besar data sejarah Belanda, tsunami dikenal dengan sebutan Banjir. Istilah ini familiar dikalangan masyarakat Ambon, bahkan ada lagu tentang peristiwa tsunami tahun 1950 yang berjudul”Banjir Galala”karena Galala merupakan salah satu lokasi terjadinya tsunami pada saat itu.
“Saat ini masyarakat mulai mengetahui bahaya tsunami dari media sosial, televisi dan internet. dampak tsunami juga sudah dipahami oleh masyarakat Kota Ambon. Bahkan beberapa pekan lalu, isu megathrust mulai menjadi perbincangan semua orang. Kami mengamati berbagai tanggapan, ada yang menyikapi dengan bijak, namun ada juga yang membangun tenda atau gubuk kecil diatas gunung untuk menghindari bahaya tsunami. Dari respon masyarakat tersebut menunjukan bahwa masyarakat telah memahami bahaya tsunami itu sendiri,” imbuhnya.