Jika negara ingin menertibkan produksi sopi, maka sediakan alternatif. Bangun industri lokal. Ciptakan lapangan kerja. Jangan sekadar melarang tanpa solusi.
Larangan tanpa regulasi sama dengan menghancurkan ekonomi rakyat kecil. Dan ini adalah bentuk ketidakadilan paling nyata.
Saudara-saudaraku, semua masalah ini bukanlah cerita baru. Dari kemiskinan, pengangguran, kesehatan, pendidikan, infrastruktur, hingga janji palsu pemerintah semuanya sudah kita rasakan puluhan tahun.
Maka wajar jika sebagian orang Maluku merasa kemerdekaan belum sepenuhnya hadir di sini. Kita merdeka secara formal, tetapi secara substansial kita masih dijajah oleh bangsa sendiri.
Apakah pantas kita berteriak merdeka jika anak-anak kita stunting, nelayan kita miskin, guru kita terbatas, dan jalan kita rusak? Apakah pantas kita merayakan kemerdekaan jika rakyat Maluku hanya menjadi penonton dalam pesta republik?
Pertanyaan yang lebih tajam, apakah perjuangan kita berbeda dengan GAM atau OPM? Mereka berteriak karena merasa ditinggalkan. Kita pun punya alasan yang sama. Tetapi kita memilih untuk tetap setia pada republik ini, meski luka kita diabaikan.
Kesetiaan ini jangan diuji terlalu lama. Negara harus hadir. Pemerintah pusat dan daerah harus bekerja nyata. Jika tidak, maka yang hilang bukan hanya bendera, tetapi juga rasa percaya rakyat.
Refleksi di usia 80 tahun kemerdekaan ini harus menjadi momentum koreksi total. Maluku tidak butuh janji baru. Maluku butuh bukti.
Kita butuh industri pengolahan ikan di Maluku, bukan di Jawa. Kita butuh rumah sakit rujukan di tiap kabupaten, bukan hanya di Ambon. Kita butuh jalan dan jembatan yang menghubungkan desa-desa, bukan proyek asal-asalan yang cepat rusak.
Kita butuh guru berkualitas di pulau kecil, bukan hanya di kota. Kita butuh kurikulum yang relevan dengan potensi lokal. Kita butuh tenaga kerja diserap di Maluku, bukan dipaksa merantau ke Jawa.
Dan yang paling penting, kita butuh pemerintah daerah yang berani bersuara lantang, bukan hanya menjadi kaki tangan pusat.
Kemerdekaan sejati bukanlah seremonial setiap 17 Agustus. Kemerdekaan sejati adalah ketika rakyat kecil merasakan hidup layak, ketika anak-anak bisa tumbuh sehat, ketika nelayan bisa sejahtera, ketika guru dihargai, dan ketika pulau-pulau kecil tidak lagi terisolasi.
“Bendera hilang” dalam film animasi itu adalah cermin dari kita. Cermin bahwa kemerdekaan Maluku pun sedang hilang. Kita punya bendera merah putih, tetapi warnanya mulai pudar di mata rakyat kecil yang lapar dan miskin.
Tugas kita adalah menemukan kembali bendera itu. Mengibarkannya dengan martabat. Memastikan bahwa merah putih di Maluku bukan sekadar kain, tetapi simbol hidup yang nyata.
Kita tidak butuh belas kasihan. Kita butuh keadilan. Kita tidak butuh janji, kita butuh realisasi. Kita tidak butuh slogan, kita butuh kerja nyata.
Jika negara gagal menjawab tantangan ini, maka 80 tahun kemerdekaan hanyalah angka. Ia hanya pesta kosong yang tidak berarti apa-apa bagi rakyat Maluku.
Mari kita bersuara. Mari kita menagih hak kita. Karena Maluku bukan daerah pinggiran. Maluku adalah jantung republik ini. Dan tanpa Maluku, Indonesia tidak akan pernah lengkap.







