Penyakit menular seperti TBC, diare, dan pneumonia masih merajalela. Padahal, kita sudah 80 tahun merdeka. Mengapa akses kesehatan dasar masih jadi kemewahan di pulau-pulau kecil?
Distribusi tenaga kesehatan timpang. Dokter spesialis menumpuk di Ambon, sementara pulau-pulau lain hanya mengandalkan perawat atau bidan. Rumah sakit besar hanya ada di ibu kota provinsi.
Banyak pasien di pulau kecil harus menunggu kapal berhari-hari untuk bisa dirujuk. Dalam banyak kasus, mereka meninggal di perjalanan. Apakah ini yang disebut merdeka?
Jika kesehatan adalah hak dasar, maka Maluku telah lama diperlakukan tidak adil. Hak itu dipotong, ditunda, bahkan diabaikan.
Dalam pendidikan, masalahnya sama. Banyak sekolah rusak, tanpa laboratorium, tanpa perpustakaan, tanpa akses internet. Anak-anak kita belajar dalam keterbatasan yang seharusnya tidak lagi terjadi di usia 80 tahun republik.
Distribusi guru timpang. Guru berkualitas menumpuk di kota, sementara pulau-pulau kecil kekurangan tenaga pengajar. Mata pelajaran sains dan matematika sering diajarkan seadanya.
Banyak siswa harus berjalan kaki berjam-jam atau menyeberangi laut hanya untuk bersekolah. Ironi kemerdekaan, anak bangsa harus mempertaruhkan nyawa untuk menuntut ilmu.
Lebih ironis lagi, kurikulum kita sering tidak relevan dengan kebutuhan lokal. Anak-anak Maluku belajar materi yang seragam dengan anak di Jawa, tetapi tidak dibekali keterampilan praktis yang sesuai dengan potensi kelautan dan kepulauan.
Hasilnya? Lulusan sekolah menengah tidak siap kerja, sementara lulusan perguruan tinggi menganggur. Pendidikan tidak berfungsi sebagai jalan keluar, tetapi justru menambah daftar pengangguran terdidik.
Masalah konektivitas antar wilayah juga menjadi luka lama. Maluku adalah provinsi kepulauan. Tetapi transportasi laut yang vital justru minim perhatian.
Banyak pelabuhan rusak, dermaga sempit, dan armada kapal terbatas. Di banyak pulau, kapal Pelni tidak singgah secara rutin. Akibatnya, harga kebutuhan pokok melambung tinggi.
Masyarakat di Buru, Aru, Seram, dan Maluku Barat Daya kerap mengeluh karena keterisolasian. Mereka bagian dari Indonesia, tetapi akses transportasi membuat mereka seperti warga dunia lain.
Akibat buruk dari konektivitas yang minim adalah mahalnya biaya hidup. Data BPS menunjukkan, indeks harga konsumen di Maluku kerap lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional.
Inilah mengapa beras, gula, semen, dan BBM di Maluku jauh lebih mahal. Masyarakat dipaksa membayar harga lebih tinggi hanya karena negara gagal menyediakan konektivitas yang adil.
Jalan dan jembatan di Maluku pun bermasalah. Gubernur Maluku sendiri mengakui, meski 95% jalan nasional dalam kondisi baik, tetapi jalan provinsi dan kabupaten masih banyak yang rusak.
Korupsi, pengerjaan asal-asalan, dan keterbatasan anggaran menjadi biang kerok. Jalan baru dibangun, tetapi sudah rusak dalam hitungan bulan.







