Oleh : Usman B. Ohorella, S.Kep., Ns., M.Kep., Sp.Kep., MB
Diabetes melitus (DM) banyak dijumpai di masyarakat lingkungan sekitar, penyakit diabetes sendiri menjadi penyakit yang serius pada masyarakat seluruh dunia dengan prevalensi yang meningkat setiap tahun. Menurut Perkeni, (2021) mengatakan bahwa diabetes adalah kumpulan penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia, terjadi karena ketidakaturan sekresi insulin, aktifitas insulin atau kedua-duanya. Penyakit diabetes seringkali tidak di pahami oleh penderitanya, dan saat disadari terjadilah komplikasi. Dengan ini DM sering di sebut sebagai Silent Killer (Alfina nur Afifah, 2023).
World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih dari 364 juta orang diseluruh dunia mengidap diabetes mellitus dan di Association Of South East Asian Nations (ASEAN) sebanyak 19,4 juta jiwa pada tahun 2010. Jumlah ini kemungkinan akan meningkat lebih dari dua kali lipat pada tahun 2030 jika tanpa intervensi. WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang diabetes mellitus di Indonesia dari 8,43 juta jiwa pada tahun 2000 menjadi 21,257 juta jiwa pada tahun 2030. (A. muliadin Harahap et al., 2020).
Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit kronis yang menyebabkan kematian tertinggi di Indonesia. DM merupakan penyebab kematian tertinggi ketiga di Indonesia pada tahun 2019, dengan angka sekitar 57,42 kematian per 100.000 penduduk. Hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023 menunjukkan peningkatan prevalensi DM di masyarakat. Di Indonesia, data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukan bahwa walaupun prevalensi DM berdasarkan diagnosis dokter tampak relatif rendah (pada penduduk semua usia sebesar 1,7 persen dan pada penduduk berusia 15 tahun atau lebih sebesar 2,2 persen), tetapi prevalensi DM yang sesungguhnya jauh lebih tinggi. Merujuk hasil pemeriksaan gula darah, prevalensi DM (kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl atau lebih; atau kadar glukosa darah 2 jam sesudah makan 200 mg/dl atau lebih) pada penduduk berusia 15 tahun atau lebih mencapai 11,7 persen (Kementerian Kesehatan RI,2023). Angka ini bahkan lebih tinggi dari perkiraan International Diabetes Federation (2021) yang menyatakan prevalensi DM pada penduduk usia 20-79 tahun di Indonesia sekitar 10,8 persen. (E. citra lylyanti Harahap et al., 2024).
Berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) Tahun 2023, prevalensi Diabetes Melitus (DM) yang didiagnosis oleh dokter pada penduduk usia ≥15 tahun di Provinsi Maluku adalah sebesar 1,0% dengan rentang 95% CI: 0,7% – 1,4%. Sementara itu, jika dilihat dari keseluruhan penduduk semua umur, prevalensi DM di Provinsi Maluku tercatat sebesar 0,6% dengan rentang 95% CI: 0,5% – 0,8%. Angka ini menempatkan Provinsi Maluku sebagai salah satu provinsi dengan prevalensi DM yang lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional, yaitu 2,2% untuk usia ≥15 tahun dan 1,7% untuk semua umur. (Munira, 2023).
Penyakit DM jika tidak terkontrol akan menyebabkan komplikasi seperti otak, jantung, ginjal, panca indra, saraf, saluran pencernaan dan lain sebagainya. Komplikasi DM pada dasarnya bisa dicegah jika pasien dapat merubah gaya hidupnya ke arah yang lebih baik. Tetapi pada kenyataannya jumlah penderita DM terus mengalami peningkatan tiap tahunnya hal ini terjadi di karenakan sebagian besar pasien DM tidak dapat melakukan self care secara optimal. Self care diartikan sebagai perawatan diri, self care terdiri dari dua kata yaitu self yang berarti diri dan care yang artinya peduli atau merawat. Pada dasarnya setiap manusia memiliki kebutuhan dalam pelaksanaan self care secara mandiri, kecuali orang itu tidak mampu melakukannya dan membutuhkan bantuan dari orang lain. (Alfina nur Afifah, 2023).
American Assosiation Diabetes Educator (AADE) menyebutkan bahwa self care diabetes yang dapat dilakukan oleh individu dengan DM yaitu, pengaturan pola makan (diet), aktifitas fisik (olahraga), perawatan kaki, terapi farmakologi dan pengecekan gula darah (Association, 2022). Apabila penderita diabetes dapat mengontrol diri dengan rencana pengendaliannya, maka akan membantu dalam pengendalian kadar gula darahnya karena dengan kepatuhan terhadap pengendalian tersebut maka penyakitnya dapat ditangani dengan lebih baik, serta bisa membantu proses penyembuhan dan mengikuti saran-saran yang diberikan oleh petugas kesehatan (Alfina nur Afifah, 2023).
Studi sebelumnya yang dilakukan oleh Nurjanah et al., (2018) menujukan bahwa adanya hubungan antara self care dengan pengendalian glukosa darah puasa pasien DM. Penelitian lain dilakukan oleh Safruddin & Yuliati, (2022) menunjukan adanya hubungan antara kepatuhan kontrol glukosa darah, kepatuhan minum obat DM, dan mekanisme koping pada kadar gula darah. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Priyanto & Juwariah, (2021) dimana hasil penelitian menunjukan terdapat hubungan antara self care dengan tingkat kestabilan gula darah pada pasien diabetes melitus type 2 (Alfina nur Afifah, 2023).