Ambon, – Polemik kebijakan pemerintah pusat terkait relaksasi alih muat ikan (transhipment) kembali memanaskan hubungan pusat dan daerah, khususnya dengan Provinsi Maluku. Pernyataan keras disampaikan langsung oleh Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa, dalam pertemuannya dengan Dirjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan, Lotharia Latief, di Jakarta, Kamis (3/7/2025).
Menurut Gubernur, kebijakan transhipment yang diatur melalui Surat Edaran Menteri KKP justru melukai rasa keadilan masyarakat Maluku dan merampas hak ekonomi mereka atas kekayaan laut sendiri.
“Kebijakan ini menyakiti rasa keadilan masyarakat Maluku. Laut kami menyumbang 30 persen potensi perikanan nasional, tapi kami tidak mendapat apa-apa,” kata Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa.
Transhipment, atau alih muat di laut, adalah praktik pemindahan hasil tangkapan dari kapal penangkap ke kapal pengangkut tanpa harus merapat ke pelabuhan. Hal ini menurut HL, justru menghilangkan efek ekonomi ke darat di wilayah Maluku.
“Tangkap di laut, bongkar di laut, semuanya di laut. Tidak ada pengisian air, bahan bakar, atau logistik di darat. Trickle down effect-nya nol,” tegas Lewerissa.
Gubernur Maluku juga menyoroti ketidaksiapan infrastruktur pelabuhan sebagai alasan klasik pemerintah pusat yang justru dijadikan dalih untuk melemahkan daya tawar ekonomi daerah.
“Kalau alasannya infrastruktur belum siap, ya bangun infrastrukturnya. Bukan justru berikan kelonggaran di laut,” ujarnya penuh kekecewaan.
Sorotan terhadap ketimpangan pusat-daerah ini turut memicu pernyataan keras dari organisasi kepemudaan. Ketua DPD GAMKI Provinsi Maluku, Samuel Patra Ritiauw, menyatakan bahwa masyarakat Maluku telah terlalu lama dikhianati.
“Maluku bukan tipe pengemis. Tapi kalau langkah-langkah seperti ini terus dipraktikkan, lebih baik kita minta merdeka,” kata Ketua DPD GAMKI Maluku, Samuel Patra Ritiauw.
Ia menegaskan bahwa banyak rencana pembangunan strategis nasional untuk Maluku yang tak pernah terealisasi, bahkan dialihkan ke daerah lain.
“Pembangunan Pabrik Gula di Negeri Makariki yang dirancang Bung Karno sebagai salah satu proyek Mercusuar dan dirancang terbesar di Asia Tenggara pada tahun 1964 dibatalkan dan dialihkan ke Jawa Timur. Padahal tanah-tanah masyarakat adat sudah diserahkan kepada pemerintah dan hingga saat ini tanah tersebut tetap dikuasai oleh oleh pemerintah namun proyeknya telah gagal dilaksanakan,” ujarnya.
Ritiauw menambahkan bahwa rencana pembangunan Universitas Pattimura sebagai pusat oseanografi Asia Tenggara juga gagal.
Menurut Ritiauw, pengkhianatan terbesar justru terjadi ketika program Lumbung Ikan Nasional (LIN) dan New Port Ambon hanya dijadikan slogan kosong tanpa implementasi nyata. Padahal, dua program itu sudah mendapat status strategis nasional.
“LIN dan New Port Ambon hanya jadi penghias pidato. Tidak ada realisasi, hanya penipuan pemerintah pusat terhadap rakyat Maluku,” tegasnya.
Dengan kontribusi 30 persen terhadap potensi perikanan nasional, Ritiauw menyatakan bahwa sudah cukup masyarakat Maluku diperlakukan seperti wilayah tak bertuan.
“Kekayaan alam kami dicuri terus-menerus. Tapi masyarakat kami masih hidup dalam kemiskinan. Di mana keadilan itu?” ucapnya penuh emosi.
GAMKI menilai perlakuan pemerintah pusat terhadap Maluku adalah bentuk sistemik dari eksploitasi tanpa kompensasi. Hal ini memperkuat opini bahwa rakyat Maluku layak untuk mempertimbangkan kemerdekaan dari Republik Indonesia.
“Selama ini pusat hanya beretorika. Janji palsu dan pembiaran terhadap perampasan hak ekonomi Maluku menjadi bukti bahwa negara gagal hadir bagi kami,” tandas Ritiauw.
Gubernur Maluku dan DPD GAMKI kini berada dalam satu garis kritik tajam terhadap kebijakan pusat. Keduanya menolak mentah-mentah relaksasi transhipment di laut yang menguntungkan korporasi besar namun meninggalkan masyarakat lokal dalam kemiskinan struktural.
Akar persoalan ini tidak sekadar kebijakan teknis, tapi menyangkut keadilan distribusi kekayaan negara. Pemerintah pusat, menurut berbagai pengamat, harus segera mengevaluasi seluruh skema pengelolaan sumber daya di kawasan timur Indonesia jika tidak ingin kehilangan kepercayaan publik secara permanen.
Seruan kemerdekaan oleh elemen sipil seperti GAMKI menandakan bahwa akumulasi kekecewaan di Maluku telah mencapai titik kritis. Ini bukan sekadar keluhan daerah, tapi peringatan keras terhadap arah kebijakan nasional.
Kini, semua mata tertuju pada Jakarta. Apakah pusat akan mendengar dan bertindak, atau kembali bungkam dalam keangkuhan birokrasi? (BM31-JP)