Ambon, – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Maluku kini mendapat sorotan tajam dari masyarakat Maluku lantaran tidak maksimal dalam melakukan pengawasan. Agenda pengawasan yang dilakukan oleh komisi-komisi di DPRD Maluku juga jarang dipublikasi secara transparan dan terbuka kepada masyarakat. Padahal, DPRD Maluku setiap bulan harus membayar mahal media-media yang melakukan peliputan kegiatan di DPRD Maluku.
Disinyalir, media-media yang dibayar untuk bekerja sama dengan DPRD Maluku hanya lantaran ada kedekatan dan “kong kali kong” dengan PLT Sekwan DPRD Maluku Farhatun Rabiah Samal dan Kasubag Risalah dan Publikasi DPRD Maluku Peggy Helena Walandauw sehingga media-media tersebut hanya menyajikan berita-berita yang bernuansa “Asal Bapak Senang” serta tak pernah menyoroti “kebobrokan” dewan.
Salah satu fungsi DPRD adalah melakukan pengawasan terhadap anggaran dan kegiatan pembangunan serta pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah daerah dimana DPRD harusnya maksimal karena semua fasilitas dan penganggaran telah dianggarkan oleh Pemerintah Daerah.
Namun pantauan BM31News.com di lapangan, ternyata pengawasan DPRD Maluku tersebut tidak banyak menyentuh substansi persoalan yang mengemuka di masyarakat seperti kasus Air Bersih di Pulau Haruku, kasus pengadaan lahan RS TNI AL dr FX Soehardjo, kasus penebangan liar PD Panca Karya, Kasus dana SMI, Kasus Penegakkan hukum atas penyerangan negeri adat Kariu,dan banyak kasus lainnya.
“DPRD Maluku cenderung jalan-jalan saja untuk meninjau proyek-proyek fisik milik anggota DPRD sendiri yaitu proyek-proyek aspirasi Anggota DPRD yang dikerjakan oleh rekanan anggota DPRD sendiri,” sebut salah satu tokoh masyarakat Maluku yang enggan namanya dipublikasikan, Sabtu (10/6/23) di Ambon.
Selain itu, pengawasan yang dikerjakan oleh Komisi-Komisi di DPRD Maluku hanyalah “modus” untuk mempercepat aliran dana dari kas daerah ke kantong pribadi dan berupaya membangun elektabilitas menuju Pemilu 2024 seakan-akan sudah berbuat banyak untuk masyaakat.
Modus operandi anggota DPRD Maluku ini sudah berlangsung sejak lama, namun tak pernah mendapat kritikan maupun sorotan dari media yang harusnya melakukan pengawasan eksternal di lembaga DPRD Maluku.
Dalam satu tahun anggaran dana aspirasi yang dialokasikan untuk anggota DPRD Maluku berkisar antara Rp2,5-3 milyar untuk anggota biasa sementara untuk kategori pimpinan dewan dan pimpinan alat kelengkapan bisa mencapai Rp3,5-6 milyar.
Dana tersebut digelontorkan dalam bentuk kegiatan fisik maupun pengadaan barang serta hibah. Untuk mencairkan dana tersebut tentunya harus mengacu kepada ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan presiden No 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah maupun Peraturan Presiden No 17 tahun 2023 tentang Percepatan Transpormasi Digital Barang dan Jasa Pemerintah yang mengharuskan kegiatan-kegiatan yang dibiayai oleh APBD maupun APBN melalui layanan LKPP dan tayangan LPSE.
Dengan demikian, anggota DPRD masing-masing harus memilih rekanan pihak ke tiga yang dapat diajak “kerja sama” agar bisa mengikuti tender untuk pekerjaan di atas Rp 200 juta dan non tender di bawah Rp 200 juta.